Hei kamu tahu sudah 2736 jam 24 menit lebih 10 detik sejak kedatangan kita di nanggroe meu-kap-kap ini, sejak kita meninggalkan comfort zone kita, meninggalkan keluarga, teman dan pekerjaan yang nyaman dengan gaji yang lumayan menurut kita :D. Banyak malam-malam di mana kita membicarakan masa depan, berbicang hal-hal yang tidak penting sampai yang memilukan, tertawa sampai sakit perut, menangis lagi, serius lagi. Entah kenapa malam ini flashback memoribilia disini muncul satu-satu di kepala yang membuatku sadar pengalaman kita worthed utk ditulis, ingin cerita ke anak cucu nanti, jaga-jaga kalau nanti pikun dini.
Lucu sekali mengingat pertama kali kita menginjakkan kaki di sini, berpindah-pindah penginapan hampir 5 kali mulai dari hotel sampai kamar korek api yang letaknya persis di atas kompor landlord yang bahkan untuk berdiri tegak saja saya tak berani, takut kejedut. Pernah hampir encok karena memaksakan diri mengangkat koper seberat 20 kg ke lantai 4. Berusaha tidur dibawah suhu 12 derajat celcius tanpa sepre, selimut, bantal apalagi penghangat ruangan, hanya kasur dengan per-nya yang menonjol ke permukaan setia menemani. Saya ingat di malam-malam dingin itu kamu berusaha menutup dengan kain seadanya setiap celah yang memungkinkan masuknya udara dingin dari luar agar kita bisa tidur, tapi tetap saja gigi kita bergemeletuk dan mata susah terpejam.
Bukan bukan sedang pamer seberapa menyedihkannya kita di sini, karena hidup dalam kekurangan sudah biasa kujalani, ini tidak ada apa-apanya, bahkan terasa lucu sekarang. Tapi yang terkadang membuatku sedih adalah karena aku telah menyeretmu dalam situasi seperti ini. Maafkan aku ya Laiyina.
Dan kemarau pun tiba, kita harus cukup puas dengan AC yang lebih tepat disebut kipas angin karena kapasitas dingin di bawah rata-rata AC normal pada umumnya yang ketika dihidupkan bergetar lah seluruh isi kamar dan tidak mungkin bisa tidur dengan kebisingan dan getaran setinggi itu. Alhasil kita lebih sering tidur sambil mandi sauna, membiarkan baju basah oleh keringat semalaman, berusaha untuk tidur karena besok harus bangun pagi ke sekolah. Harus cukup puas mandi dengan air yang akhir-akhir ini hangat, meski badan sedang kepanasan karena efek dari summernya thai yang kadang mencapai 40 derajat celcius yang menurut orang lokal the worst summer-nya mereka. Lain ceritanya dengan 3 bulan yang lalu saat musim dingin, ingin sekali rasanya mandi air hangat, tapi apa boleh buat pemanas air di kamar mandi lebih sering rusak daripada benernya. Ah hidup persis seperti air kamar mandi kita ya, tidak selalu sesuai harapan. Ingin air dingin yang ada air hangat, ingin yang hangat yang ada air dingin. Entah memang benar manusia makhluk seribu keluhan.
Benar adanya dibalik kesulitan ada kemudahan dan hikmah yang tersimpan. Kesulitan-kesulitan kita di sini membuat kita belajar bersyukur dengan cara yang lebih indah. Bersyukur karena kita tahu di belahan dunia lain jangankan air untuk mandi, untuk minum saja susah. Sering kita rindu berseliweran di ruangan yang lebih luas, karena kamar kita terlalu sempit untuk sekedar mengundang inspirasi dan udara segar datang, tapi hamdalah terucap lagi mengingat orang-orang yang tidak punya tempat berlindung di luar sana. Berusaha bersabar menahan hawa nafsu meski sudah tak kuat ingin beli gorengan seharga seribu, karena kita tahu hidup bukan untuk perut. Semakin mengerti untuk belajar lebih giat lagi agar tidak direndahkan dan bisa jadi orang yang rahmatan lil’alamin. Sering kita pesimis dan merasa diri ini tidak ada apa-apanya melihat kesuksesan dan kebermanfaatan orang lain, ragu bisakah kita sebermanfaat itu, namun kita tetap optimis Allah sudah menyediakan jatah lainnya untuk kita, ketika kita gagal bahkan sebelum mencoba (if you know what I mean,hehe).
Allah maha baik mempertemukan kita dengan orang-orang baik dan siswa-siswa yang lucu, sehingga untuk sejenak kita lupa kita pernah benar-benar sedih. Membenarkan perkataan imam syafi’i “merantaulah, maka kau akan menemukan pengganti teman dan kerabatmu”. Mengenalkan kita dengan beberapa orang yang stereotype, yang membuat kita berdoa semoga kita dijauhkan dari sifat tersebut. Menghargai orang lain meski kita direndahkan. Lebih meresapi firmanNya mengenai penciptaan berbagai bangsa dan suku untuk saling mengenal yang semoga dapat meningkatkan ketakwaan kita padaNya.
Senang rasanya merasakan pernah menjadi minoritas. Merasakan sensasi salat di fitting room, di depan toko orang, di box-box di pinggir taman, dan entah di mana lagi. Mengerti bagaimana lelahnya orangtua kita mencari uang dan belajar untuk berdiri di kaki sendiri. Ah, sungguh merantau di sini membuat cinta kepada keluarga dan teman semakin dalam, juga kepada Yang Maha Mencintai.
Terimakasih Laiyina karena telah sangat jauh menemani, telah sangat baik ingin mengerti dan telah sangat lelah mengingatkan diri ini. Jangan lupa janji kita kemarin malam agar persahabatan kita tetap hangat meski kita hidup berjauhan dan punya keluarga masing-masing nanti.
in one of the bloom's room with love, 29 april 2014
Catatan ini ditulis sambil memandangi wajah laiyina yang sudah terlelap disamping, sweet dream Laiyina :))